Asal Usul Ular Tangga

Permainan Ular Tangga sekarang ini dianggap sebagai permainan jadul, tapi tetep jadi favorit anak-anak di seluruh dunia. Meski banyak orang tahu tentang permainan ini, asal-usulnya ternyata belum banyak yang tau. Sebenernya, Ular Tangga adalah penemuan dari India kuno, dan bukan cuma untuk hiburan aja, tapi juga punya makna filosofis yang mendalam.

Permainan Pengetahuan

Dikutip dari Ancient Origins, Ular Tangga itu dikenal sebagai Gyan Chaupar, yang berarti permainan pengetahuan. Permainan ini udah ada di India sejak abad ke-2 Masehi dan pertama kali diperkenalin sama Dnyaneshwar atau Dnyandev, seorang santo Marathi dari abad ke-13. Dulunya, permainan papan ini super populer di kalangan anak-anak India kuno.

Gyan Chaupar mirip banget dengan Ular Tangga yang kita kenal sekarang, tapi papan dan tujuannya jauh berbeda. Di versi modern, papan Ular Tangga bisa punya jumlah kotak yang bervariasi—ada yang 72 kotak, ada juga yang 100. Perbedaannya bukan cuma soal menang atau kalah.

Permainan ini lebih fokus ke karma, yang merupakan prinsip Hindu tentang sebab dan akibat. Tangga di sini melambangkan kebajikan seperti iman, kedermawanan, dan kerendahan hati, sementara ular mewakili sifat buruk seperti kemarahan, nafsu, dan keserakahan. Kotak terakhir di papan melambangkan Tuhan atau surga, yang berarti kita udah mencapai pembebasan.

Tangga punya pesan bahwa perbuatan baik bakal bawa kita menuju surga, sedangkan kejahatan bikin kita terjebak dalam siklus kelahiran kembali. Jumlah tangga yang lebih sedikit dibandingkan ular juga punya arti, yaitu sebagai pengingat bahwa jalan menuju kebaikan itu lebih sulit dibandingkan jalan menuju dosa.

Bali Sangat Bijaksana Memahami Konflik

Bali tuh ngerti banget soal konflik. Mereka punya istilah keren, rwa binedha, yang artinya konflik itu sebenarnya bisa jadi satu dan bikin dinamika hidup jadi lebih seru dan berkelanjutan.

Jadi, sebenernya ada space yang cukup gede buat konflik. Kayak siang dan malam, itu kan bentuk konflik yang ngajarin kita kalau hidup gak melulu tentang beres-beres aja. Kadang mata perlu istirahat, batin butuh relax, otak juga harus diistirahatkan. Tubuh kita ngerti banget peralihan siang ke malam ini dengan slow dan steady: mulai dari siang, sore, malam, sampai pagi. Tubuh ikut beradaptasi dengan tenang dan damai. Konflik ini jadi sesuatu yang gak bisa dihindarin, malah bisa bikin masalah kalau kita coba hindari.

Konflik itu udah kayak air, gula, atau bumi; bagian dari hidup kita. Ada sisi baik dan buruk dalam setiap orang, tapi seringkali kita cuma liat dari dua sisi ekstrem. Rwa binedha tuh ngasih batasan di ujung-ujungnya, tapi antara batas itu ada banyak warna yang gak terhitung. Gak ada yang bisa ukur kebajikan dan keangkaramurkaan secara mutlak. Di satu tempat, seseorang bisa dianggap alim, tapi pindah ke tempat lain, dia bisa jadi masalah besar.

Kadang kita ngeliat konflik cuma sebagai pertengkaran atau bentrokan antar kelompok. Padahal, konflik itu adalah bagian dari perjalanan panjang masyarakat atau individu. Proses ini alami banget. Gak ada presiden atau siapapun yang bisa menghentikannya, yang ada malah bisa bikin konflik jadi meledak-ledak. Ini bahaya dari rekayasa sosial-budaya — apapun bentuknya.

Sekarang Bali lagi dalam proses itu. Dulu, seperti yang dijelaskan oleh Clifford Geertz di bukunya “Involusi Pertanian”, Bali bergerak dengan cara yang sangat dalam, makin rumit, dan menyempit. Lukisan tradisional Bali juga ngikutin arah ini. Dulu masyarakat Bali merasa nyaman dengan kondisi ini karena para dewa ada di sekitar mereka, dan mereka bisa hidup dari apa yang ada di sekitar mereka. Bali gak butuh “perluasan garis” karena pikiran mereka gak nyari lebih dari apa yang ada.

Tapi sekarang ada perubahan. Pariwisata bikin budaya agraris Bali beralih ke budaya industri tingkat II (industri jasa). Ini lompatan budaya yang jarang banget terjadi.

Gak heran kalau sekarang ada kebingungan besar. Masyarakat Bali harus berhadapan dengan konflik yang sangat signifikan: kaki kanan harus melompat jauh, sementara kaki kiri masih ketinggalan. Kita harus menyesuaikan diri dengan kehidupan kota yang sempit, bahkan bikin tempat ibadah aja bingung. Kita harus berhadapan dengan budaya materialistik yang agresif.

Masalahnya bukan cuma soal “budaya modern lebih individual dan budaya Bali lebih komunal.” Masalahnya lebih rumit dari itu. Semua orang pasti punya keinginan untuk berubah. Makanya manusia mati dan generasi berikutnya melanjutkan kehidupan. Pergantian generasi membawa perubahan pandangan dan tuntutan budaya. Siapa pun yang mencoba menghentikan perubahan harus bisa menghentikan waktu dan proses regenerasi. Ini adalah kesia-siaan yang sering kita lakukan dengan alasan melestarikan budaya.

Konflik bakal selalu ada dalam setiap perubahan. Jangan khawatir. Konflik justru bakal makin parah kalau kita coba hentikan perubahan. Yang penting adalah gimana kita bikin konflik jadi sehat, bikin kita bisa tidur nyenyak di malam hari dan tetap aktif di siang hari dengan tenang. Konflik bakal jadi chaos dan nyakitin kalau kita tetap memaksakan siang meski malam udah tiba.

Bali lagi dalam perjalanan menuju budaya industri tingkat II. Jangan dihentikan, jangan dipaksakan tetap di siang atau malam. Bali bakal melalui proses ini dengan tetap menjaga jiwa dan hatinya, meskipun mungkin ada perubahan warna.